Keilahian Kristus

Selama 17 tahun dalam pelayanan misi menjangkau STA, pertanyaan yang seringkali saya dengar adalah: mengapa orang Kristen mempercayai Yesus sebagai Tuhan yang mengampuni dosa dan menjadi Juru selamat? Bukankah Yesus hanyalah nabi? Perayaan Jumat Agung dan Paskah adalah sesuatu yang menggelikan dan tidak bermakna. Dalam percakapan dengan orang awam yang tidak percaya, kita akan mendengar: Yesus memang patut diteladani karena moral-Nya dalam kasih, keadilan sosial, supranatural yang dimiliki-Nya dalam mengadakan muzijat, menyembuhkan orang sakit, menghidupkan orang mati. Hanya sebatas teladan moral, tetapi mempercayai Dia sebagai Tuhan adalah sesuatu yang musrik (mendustakan Allah, menduakan Allah, sesuatu yang dibenci dan dilaknat Allah). Kita juga banyak menjumpai orang Kristen (beragama kristen, bergereja, sekolah teologi, belajar Alkitab) tidak percaya bahwa Yesus adalah Tuhan. Menurut mereka, Yesus hanyalah manusia biasa yang juga berdosa. Jikalau kitapun tidak meyakini Yesus Kristus adalah Tuhan yang mati karena dosa-dosa kita, sesuai dengan Kitab Suci; bahwa Ia telah dibangkitkan, pada hari yang ketiga, sesuai dengan Kitab Suci, maka sia-sialah kepercayaan kita. Seperti yang diungkapkan Paulus dalam 1 Korintus 15: 1: 2 – 4.

Dalam artikel ini, saya akan membukakan tentang Yesus adalah Tuhan dalam pribadi-Nya dan karya-Nya. Selain mengungkapkan keilahian Yesus Kristus, perlu juga kita memahami dan menyadari aplikasi doktrin ini dalam kehidupan kita. Memahami pribadi Kristus dan karya Kristus adalah dasar yang teramat penting dalam iman Kristen. Hal ini mendasari pemahaman soteriologi (doktrin keselamatan); karena jikalau Tuhan kita tidak sesuai seperti pengakuan-Nya, maka penebusan-Nya tidak sempurna.

Apakah Yesus Kristus hanya seorang nabi ? Nama “Yesus” dalam bentuk bahasa Yunani, berasal dari kata Ibrani yaitu Jehoshua, Joshua (Yos 1: 1; Za 3: 1), Jeshua (Ezr 2: 2) yang berarti seorang penyelamat atau Juru selamat. Nama ini berasal dari akar kata yasha’, bentuk hiphil hoshia’ yang artinya menyelamatkan. Sesuai dengan Mat 1: 21 “Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.”  Asal-usul kata lain adalah Jeho (Yehovah) dan shua yang artinya “membantu”[1].

Nama “Kristus” adalah nama jabatan sama dengan Maschiach (Mesias) dari akar kata mashach yang artinya “Yang Diurapi”. Yesus disebut Kristus berarti “Yang Diurapi” Zacharias Ursinus dalam buku on the Heidelberg Catechism[2] mengungkapkan, Yesus disebut Kristus karena Ia ditetapkan atau ditunjuk Allah Bapa dan Diurapi Roh Kudus untuk menjadi NABI, IMAM, RAJA.

Arti diurapi adalah:

  1. Panggilan atau ketetapan Allah bagi seseorang untuk menjalankan fungsi/jabatan tertentu.
  2. Menunjukkan janji dan penganugerahan karunia-karunia yang diperlukan untuk fungsi/jabatan tersebut.

Pengurapan hanya dilakukan untuk tiga jabatan tertentu yaitu, Nabi, Imam, dan Raja. Dua kriteria untuk menjadi seseorang yang diurapi telah digenapi Yesus yaitu: (1) ditetapkan atau dipilih oleh Allah sendiri (Yoh 7: 28-29; Ibr 1: 1-4), (2) diberikan karunia-karunia untuk melakukan tugas-tugas jabatan tersebut. Yesus Kristus memiliki tiga jabatan tersebut sekaligus :

  • Jabatan Nabi

Nabi adalah jabatan yang ditunjuk oleh Allah untuk menerima ‘rahasia-Nya’ atau ‘perkataan-Nya’ untuk disampaikan kepada seseorang atau suatu bangsa (1 Raj 22: 19;  Yer 23: 22; Am 3:7). Nabi disebut Abdi Allah, (Kel 3: 1-4:17; Yes 6; Yer 1: 4-19; Yeh 1-3; Hos 1: 2; Am 7:14-15; Yun 1:1), pelihat (1 Taw 29: 29; Yes 30: 10). Yesus Kristus sebagai Nabi untuk menyatakan Allah dan seluruh kehendak-Nya (Yoh 1: 18; 8: 26). Untuk memulai dan memelihara pelayanan Injil. Untuk membangkitkan dan mengutus para nabi, rasul, guru, dan semua pelayan gereja; untuk memperlengkapi mereka dengan karunia-karunia lain yang dibutuhkan (Ef 4: 11; Luk 11: 49; 21: 15; 1 Pet 1: 11). Mengajar anak-anak Tuhan secara efektif dalam hati mereka melalui Roh Kudus yang memberi iluminasi kepada pikiran mereka dan dengan Injil menggerakkan hati mereka kepada iman dan ketaatan (Mat 3: 11; Luk 24: 45; Ef 5: 26; Mrk 16: 20; Kis 16: 14; 14: 3).

  • Jabatan Imam

Imam adalah jabatan mulia yang tertinggi dalam agama Yahudi yang berkaitan dengan ibadah. Imam besar ditunjuk oleh Allah dan dipercaya sebagai wakil umat di hadapan Allah serta berperan sebagai pengantara yang kudus antara umat dengan Allah. Imam mempunyai hak khusus untuk datang menjumpai Allah dan berbicara serta bertindak atas nama umat-Nya. Yesus Kristus sebagai Imam mengajar hukum-hukum Allah kepada manusia melalui Roh Kudus dan menggerakkan hati mereka untuk taat (Yoh 14: 26). Mempersembahkan korban yaitu diri-Nya sendiri sebagai tebusan bagi dosa-dosa dunia (Ibr 2: 17, 7: 26-27). Bersyafaat terus-menerus bagi kita kepada Allah Bapa (Ibr 9: 15-24). Mengaplikasikan pengorbanan-Nya kepada umat pilihan-Nya melalui karya Roh Kudus yang melahirbarukan dan memimpin mereka (Tit 3: 4-7). Karya keimaman Kristus paling jelas disebutkan dalam surat Ibrani. Sang Pengantara yaitu Kristus sebagai satu-satunya Imam Besar yang sempurna, kekal dan ditunjuk oleh Allah sendiri, yang mengambil tempat orang berdosa, dan mengorbankan diri-Nya (Ibr 5: 5, 9: 14, 10: 11-14, 19: 22).

  • Jabatan Raja

Raja dalam bahasa Yunani basileus berarti penguasa pewaris pemerintah yang sah, pembimbing kehidupan rakyatnya melalui keadilan atau ketidakadilan. Menurut Plato,  raja dianggap pembuat kebajikan, kemauannya adalah hukum. Yesus Kristus sebagai Raja untuk memerintah gereja-Nya, dengan Firman dan Roh Kudus (Yes 9: 6-7; Ef 1: 21-22; Flp 2: 9-11; 2 Tim 3: 16-17). Untuk memelihara dan melindungi orang percaya dari musuh-musuh, memberikan perlengkapan senjata rohani (Luk 1: 32-33; Yoh 10: 28; Ef 6: 13-18). Menghakimi (Yoh 5: 22-27; 17: 2), melimpahkan ke atas gereja-Nya karunia-karunia dan kemuliaan, membebaskan dari segala kejahatan, mengontrol, mengalahkan, serta menaklukkan dan menghukum musuh-musuh-Nya (Mrk 13:26; Why 17: 14, 19: 16, 19-21), kerajaan-Nya kekal (Why 11:15).

Hanya Yesus yang menggunakan jabatan Kristus “Yang Diurapi”. Para nabi, imam, dan raja di Perjanjian Lama juga diurapi dalam memangku jabatan mereka (Kel 29:7; Im 4:3; Hak 9: 8; 1 Sam 9:16, 10: 1, 24: 10; 2 Sam 19: 10) namun tidak berhak memiliki gelar/jabatan ‘Kristus’. Mereka mempunyai satu atau dua jabatan tetapi tidak ada satupun yang memiliki ketiganya sekaligus, karena hanya Yesus yang memiliki ketiga jabatan tersebut sekaligus. Sehingga Yesus adalah Kristus sang Mesias yang ditetapkan dan dijanjikan Allah sejak kekekalan (Yes 11: 2, 42: 1) untuk menebus dosa manusia dan telah dinubuatkan oleh para nabi (Mik 5: 1-3; Za 6: 9-15, 9: 9, 12: 10; Yes 7: 14, 9: 5, 52: 13-53: 12; Mzm 22: 16-18; ). Secara historis tergenapi dalam Perjanjian baru (Mat 3: 16; Mrk 1:10; Luk 3: 22; Yoh 1: 32; 3: 34).  

Apakah Yesus memiliki natur Ilahi? Apakah Yesus adalah Tuhan?

Orang percaya meyakini Alkitab sebagai firman Tuhan yang tidak bersalah. Alkitab mencatat bukti-bukti keilahian Kristus yang sama dengan YHWH.  Yesus Kristus adalah Firman logos yang telah menjadi manusia (Yoh 1: 1-3, 14, 18, 3: 16-18). Kristus adalah Allah yang sudah ada dari kekekalan sampai ke kekekalan (Yoh 8: 58, 17: 5; Kol 1: 16-19; Ibr 1:2; 1 Yoh 4: 3). Yesus Kristus Anak Allah adalah pribadi yang berbeda dari Allah Bapa, Roh Kudus, dan ketiganya adalah satu (1 Yoh 5: 7; Kej 1: 26; Yoh 10: 30). Yesus Kristus setara dengan Allah Bapa (Yoh 3: 35-36, 5: 19-27; Kis 2: 36; 1 Yoh 1:3); Mahahadir (Mat 18: 20, 28: 20), Mahatahu (Mat 16: 21, Luk 6: 8; Yoh 4:29), Mahakuasa (Mat 28: 18, Mrk 5: 11-13); Berasal dari surga (Yoh 3: 13),  datang dari Allah dan kembali kepada Allah (Yoh 13:3). Yesus Kristus adalah Tuhan, memberikan hidup kekal (Yoh 17: 2; Kis 10: 36; Rom 14: 9; Flp 2: 11), Allah Bapa dan Anak bekerja bersama untuk satu tujuan (Yoh 5: 17, 6: 37-40, 10: 35-38). Kelahiran Yesus Kristus (Mat 1: 18 – 25) dari anak dara Maria adalah karya Roh Kudus yang ajaib, bukan hasil persetubuhan manusia berdosa tetapi oleh Roh Allah. Ini menjelaskan ketidakberdosaan Kristus sebagai manusia.  

            Keyakinan dan pemahaman keilahian Kristus adalah dasar dari iman kita. Kualitas iman akan sangat berpengaruh pada pikiran, perasaan, dan perbuatan kita. Jikalau kita ragu bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan, tentulah sia-sia menjadi orang Kristen, karena kita akan termasuk golongan yang dibinasakan. Mempengaruhi kita untuk mengasihi Allah dengan segenap hati, jiwa, kekuatan, dan degenap akal budi,  kasih kita kepada orang lain. Mempengaruhi kita dalam ketaatan melaksanakan amanat Agung-Nya untuk memuridkan semua bangsa menjadi murid Kristus. Kualitas pemahaman kita tentang Kristus juga mempengaruhi ketaatan pada firman Tuhan dan kesediaan menjadi tanah yang gembur supaya firman Tuhan tumbuh dan berbuah dalam hidup kita. Mempengaruhi sikap hati kita dalam menyembah-Nya, doa-doa kita. Juga akan mempengaruhi kesungguhan dan tanggung jawab kita melawan kedagingan dan kuasa dosa. Ketundukan pada pimpinan Roh Kudus dalam setiap aspek dan waktu kita (dalam pekerjaan, pelayanan, keluarga, relasi, dsb) untuk merebut waktu-waktu yang jahat menjadi kemuliaan bagi Allah. Menjadi orang percaya bukan lagi hanya membedakan mana yang benar dan salah, tetapi membedakan dan memilih mana yang terbaik dari yang baik, mana yang maha kudus dari yang kudus. Firman Tuhan dalam Ibrani 4: 12 mengingatkan kita “Sebab firman Allah hidup dan kuat dan lebih tajam dari pedang bermata dua manapun; ia menusuk amat dalam sampai memisahkan jiwa dan roh, sendi-sendi dan sum-sum; ia sanggup membedakan pertimbangan dan pikiran hati kita.” Apa perbedaan orang percaya dengan Setan? Orang percaya mengenal dan meyakini Kristus adalah Tuhan dan firman-Nya. Setan pun mengenal dan percaya Kristus adalah Tuhan dan firman-Nya. Perbedaannya adalah Setan tidak mempercayakan dirinya untuk taat kepada Tuhan, sedangkan kita orang percaya menyerahkan diri kita sepenuhnya (pikiran, perasaan, dan perbuatan) untuk tunduk dan taat kepada Tuhan.    


[1] Louis Berkhof, Teologi Sistematika Volume 3: Doktrin Kristus, (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1996),  24.

[2] Zacharias Ursinus, On the Heidelberg Catechism, Q31, RDA: 432-438.

Oleh: Tetti Tamba (Alumni MIPA)

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Latest Comments