KASIH YANG BARU KEPADA TUHAN

Masihkah kita mengingat pengalaman pertobatan kita dan bagaimana rasanya pada saat itu? Coba sejenak tangkap rasa kasih mula-mula kita kepada Tuhan.

Beberapa waktu lalu aku bertanya kepada salah seorang temanku, “Apa rasanya mengenal Tuhan?” Dia menjawab, “Tidak pernah aku sebahagia ini dan aku seperti lahir baru. Sulit kujelaskan dengan kata-kata, karena ini pengalaman yang luar biasa. Mimik wajah yang menggambarkan betapa sukacitanya temanku itu, membuatku mengingat kembali saat dulu pertama kali menyadari kasih Allah kepada diriku.

Pengalaman lahir baru setiap orang itu unik, Tuhan dapat berkarya melalui situasi yang bagaimanapun dan kapan saja bahkan Tuhan dapat memakai siapa saja untuk memberitakan kabar baik kepada orang yang dikasihiNya. Aku ingin menceritakan pengalaman lahir baru temanku yang mengaku menyadari kasih Allah lewat percakapan sederhana kami di sore hari kala itu. Bahkan aku tidak menyangka bahwa percakapan itu berbuah manis, karena sungguh percakapan itu sederhana dan bukan rangkaian dari metode penginjilan yang pernah kuikuti sebelumnya.

Murni namanya, perempuan keturunan Nias yang lahir di Pulau Simuk: salah satu pulau kecil dan terluar di kepulauan batu, Nias Selatan. Dia anak bungsu dan yatim piatu, usianya lebih tua 1 tahun dariku dan satu-satunya yang belum menikah di keluarganya. Saat ini dia bekerja sebagai pendamping desa dari Kemendes di Pulau Sigata dan baru-baru ini tinggal dengan kakaknya di perumahan dinas, tetanggaku. Beberapa kali dia datang ke rumahku: masak, makan, bercerita dan terkadang menonton bersama. Dia melihat segala sesuatu yang kulakukan dengan jelas. Suatu sore, aku dan teman KTB ku (Rahel) membahas buku yang sedang kubaca “Monster-Monster Pribadi” karya Pak Julianto, dan dia juga ikut mendengar.

Kami pada akhirnya menceritakan siapa diri kami dan bagaimana keadaan keluarga membentuk kami menjadi pribadi yang berbeda karakter. Karena buku bacaan tersebut memang mengarahkan kami melihat monster yang ada dalam pribadi masing-masing. Kami bertiga menjadi lebih  terbuka satu dengan yang lain dan hanyut dalam obrolan tentang keluarga, karakter yang sulit untuk diubah, dosa-dosa dan relasi dengan Tuhan. Kak Murni pun menceritakan latar belakang keluarganya, pergumulannya, kekecewaannya, dan ketakutan-ketakutan akan masa depannya.

“Aku selalu berdoa, tapi aku rasa ada yang kosong di hatiku. Aku baca alkitab, tapi gak ngerti. Apa Tuhan mendengar atau tidak?” Pertanyaannya itu membawa kami kepada obrolan tentang dosa yang menghalangi manusia untuk berelasi dengan Tuhan. Relasi yang rusak sejak Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa. “Satu dosa Adam dan Hawa sudah membuat mereka terusir dari taman Eden, apalagi kita?”

Aku teringat nats: Yesaya 59:1-2 Sesungguhnya, tangan TUHAN tidak kurang panjang untuk menyelamatkan, dan pendengaran-Nya tidak kurang tajam untuk mendengar; (2) tetapi yang merupakan pemisah antara kamu dan Allahmu ialah segala kejahatanmu, dan yang membuat Dia menyembunyikan diri terhadap kamu, sehingga Ia tidak mendengar, ialah segala dosamu.

Sudah sampai disitu saja aku mau bercerita, tapi kak Murni semakin bersemangat untuk mendengar. Berikutnya dia bertanya, “Bagaimana caranya biar manusia bisa berelasi lagi dengan Tuhan?” Aku dan teman KTB ku bergantian bercerita tentang inisiatif Allah untuk datang ke dunia demi kasihNya kepada manusia berdosa. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Percakapan sore itu ternyata membawanya merenung sepanjang malam. Hari berikutnya, Kak Murni dan Rahel nginap di rumahku, seperti biasa dimana 3 wanita berkumpul pasti ada obrolan panjang yang membuat lupa akan kantuk. “Sejak aku dengar cerita kemarin, aku pulang ke rumah dan merenung ih baik kali lah Tuhan itu mau mengampuni dosa-dosaku. Aku punya pengharapan baru, kayak lahir baru lah aku rasanya. Gak pernah aku sebahagia ini rasanya. Aku selama ini memikirkan hal-hal duniawi, ada yang kosong di hatiku. Aku kerja keras tapi gak puas, aku mencari uang tapi gak pernah sebahagia ini.”

Sontak aku kaget dan menangis, kupeluk wanita nias itu Hahaha. Kudengarkan semua yang direnungkan dan dirasakannya. Kata-kata yang dilontarkannya seperti pengharapan baru, lahir baru, anugerah, membuat kami tercengang-cengang. Tidak ada kami bahas begitu komplit seperti yang dia ceritakan, tetapi kata-katanya mengalir seperti perkataan Roh. Dan satu hal lain yang membuatku yakin bahwa dia mengalami kelahiran kembali adalah kerinduannya mengenal Tuhan lebih dalam. “Ajaklah aku berdoa dan belajar firman”. Sepanjang sejarah penginjilan dalam hidupku: baru kali ini rasanya sangat natural dan mengalir. Bahkan aku yang terberkati lewat pengalaman rohaninya. Panjang sekali dia bercerita tentang hidupnya yang lama dan rasanya mengalami Tuhan saat ini. Aku terpesona melihat cara Tuhan bekerja. Sesungguhnya aku sudah sangat lama berdoa sejak ditugaskan di Pulau ini, agar bisa masuk dalam pelayanan gereja. Tetapi pandemi membuat banyak hal sulit dikerjakan, dan sampai di penghujung tahun rasanya aku tidak melakukan apa-apa dalam pelayanan. Ternyata, pengalaman kali ini membawaku pengertian baru akan pelayanan. Pelayanan bukan hanya di gedung gereja, atau organisasi rohani lainnya tetapi keseluruhan hidup kita melayani Tuhan; bekerja, bertetangga, bersahabat, berelasi dengan siapapun haruslah kita menjadi perpanjangan kasih Allah.

Kisah ini masih sangat hangat karena memang baru kami alami bersama-sama. Kisah yang menjadi penyemangat bagiku dan ucapan syukurku kepada Allah karena Dia tetap berkarya dengan cara yang tidak disangka-sangka. Dari kisah lahir baru kak Murni aku diingatkan betapa aku pun dulu pernah berapi-api ingin mengenal Tuhan. Kerinduan untuk mengenal Tuhan dan melayaninya sangat amat nyata. Tapi, sepanjang perjalanan ada banyak hal yang membuat hati berbelok ke arah yang lain. Pekerjaan, uang, keluarga, masalah dan lain hal yang menjadi alasan kita tidak berelasi hangat lagi dengan Tuhan. Doa yang sekedar, saat teduh yang sambil lalu, PA tidak lagi menjadi prioritas, dan disiplin rohani lainnya yang diabaikan. Ternyata kebiasaan buruk itu perlahan membuat kita semakin menjauh dari Tuhan.

Tahun baru identik dengan resolusi yang baru. Jika dihadapkan pada pertanyaan apa resolusimu? Apa jawab kita? Aku pikir sebagai orang percaya, layaklah kita mengevaluasi kedekatan kita dengan Tuhan sepanjang tahun yang telah berlalu. Sepantasnya kita memperbaiki diri kita agar semakin dekat lagi dengan Tuhan. Sebab Dia telah memberikan kita hidup yang baru, bukan untuk hidup bagi diri kita melainkan bagi Dia. Jika ketika pertama kali mengenal Tuhan, kita merasa mengasihi Tuhan dengan sangat, mengapa sekarang tidak? Pasti ada hal-hal yang harus kita tinggalkan dan lepaskan agar kita bisa puas dalam berelasi dengan Tuhan dan mengalami sukacita yang melimpah waktu demi waktu. Mari mengawali tahun yang baru dengan melibatkan Tuhan dalam perencanaan-perencanaan kita.

Happy New Year 🙂

Yuki Indah Sirait (FKG’12)

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Latest Comments