Guru adalah Keteladanannya

Tahun 2003 lalu, saya hendak melakukan perjalanan dari Jakarta menuju Pekanbaru. Sembari menunggu panggilan masuk ke dalam pesawat, saya pun menyempatkan diri untuk mengobrol dengan seorang bapak yang sedang berada di ruang tunggu.

Tulisan ini, tentu tidak sedang membahas obrolan kami. Hanya mencoba mengenang satu kalimat yang pernah dilontarkan bapak tersebut, sebelum kami berpisah dan masuk ke dalam pesawat.

“Kalau boleh saya menebak, Bapak itu profesinya guru iya? Soalnya saya melihat gaya bicara dan cara berpakaian Bapak.“ Ujar beliau.

Hingga saat ini, kalimat pertanyaan yang sekaligus mengandung pernyataan tersebut, terkadang masih terngiang di telinga saya. Bahkan sering sekali menjadi perenungan bagi saya yang memang berprofesi sebagai guru. Padahal, nama dan wajah bapak itu saja, saya sudah lupa.

Awalnya, dalam benak saya bertanya. Memangnya, ada apa dengan cara berpakaian saya? Menurut saya tidak berbeda dengan yang lainnya. Apakah karena pakaian yang saya kenakan saat itu begitu sederhana alias tidak bermerek, lantas saya disebut guru?

Bagaimana pula dengan cara saya berbicara? Adakah yang spesial dari yang saya bicarakan, sampai-sampai bapak tersebut menyimpulkan kalau saya adalah seorang guru. Padahal selama pembicaraan, saya tidak pernah bercerita kalau profesi saya adalah seorang guru.

Seiring berjalannya waktu, saya pun mencoba memahami, dan memaknai melalui sebuah interpretasi tentang kalimat pertanyaan sekaligus pernyataan yang pernah dilontarkan bapak tersebut. Bahkan sering sekali menjadi pengingat bagi saya.

Seorang guru haruslah menjadi guru, kapan, dalam keadaan seperti apa, dan di mana pun berada. Dari seorang guru, sejatinya terpancar citra diri sebagai seorang pendidik. Identitas guru itu terus melekat ke mana pun dia pergi. Artinya, menjadi guru bukan hanya ketika di dalam kelas atau  berada di lingkungan sekolah saja.

Jadi, ketika saya berbincang dengan seseorang yang baru saya kenal di ruang tunggu bandara pun, saya ternyata tetaplah guru. Siap dinilai oleh siapa pun. Tidak ada alasan, ketika saya bepergian, maka identitas guru itu saya tinggalkan di rumah.

Kalau bisa dianalogikan, guru itu memang layaknya “sebuah kota di atas gunung yang tidak mungkin tersembunyi”. Semua orang akan memandang dan melihat keteladanannya. Guru adalah sosok yang harus “digugu dan ditiru”. Guru haruslah menjadi sosok yang berintegritas, sejalan perkataan dan perbuatannya.

Kekuatan seorang guru sesungguhnya adalah teladannya. Yakinlah, bahwa keteladanan itu mampu berbicara. Ketika kata-kata nasihat tidak lagi di dengar oleh peserta didik, maka keteladanan seorang guru pun akan selalu dilihat dan diperhatikan.

Keteladanan seorang guru akan jauh lebih kuat daripada hardikan atau pun sejumlah sanksi yang diberikan kepada peserta didik. Keteladanan akan jauh lebih melekat daripada sekedar nasihat-nasihat yang panjang.

Menjadi teladan itu memang tidak mudah. Seorang guru pun harus terus belajar keteladanan dari waktu ke waktu. Sebagai seorang guru yang sudah berkecimpung di dunia pendidikan selama dua puluh enam tahun, baik di institusi non formal atau pun sekolah formal, saya mengakui bahwa untuk memiliki keteladanan yang baik itu butuh proses dan komitmen yang kuat. Bahkan adakalanya masih jatuh bangun untuk urusan keteladanan.

Karena itu, sebagai seorang guru Kristen, sejatinya kita harus terus belajar, terutama dari Sang Guru sejati kita, yakni Yesus Kristus. Ketika Yesus menjadi guru di antara murid-muridnya, Yesus pun menunjukkan keteladanan itu.

Dalam kitab suci, sesungguhnya sangat mudah kita menunjukkan tentang keteladanan yang pernah diajarkan Yesus.

Misalnya, menunjukkan keteladanannya dalam hal disiplin rohani (Markus 1:35), keteladanan tentang kerendahan hati (Filipi 2 : 6-8), keteladanan tentang kemurahan hati (2 Korintus 8 : 9), keteladanan agar tidak berbuat dosa (1 Petrus 2 : 22), keteladanan agar memberkati orang lain (Roma 12 : 14), keteladanan kesabaran (Roma 12 : 12), dan masih banyak lagi.

Nah, melalui momen Hari Guru Nasional (22 November 2022), sebagai seorang pendidik, saatnya kembali merenungkan dan memurnikan panggilan menjadi seorang guru. Mengevaluasi, apakah sudah menjadi guru yang sesungguhnya? Sudahkah menjadi teladan ketika menjalankan panggilan sebagai seorang guru?

Dan, sekadar mengingatkan tema Hari Guru Sedunia yang baru diperingati 5 Oktober 2022 lalu, ‘The transformation of education begins with teachers’. Bahwa transformasi pendidikan itu memang harus dimulai dari guru.

Mari selalu mentransformasi diri, menjadi teladan di mana pun berada, sehingga sebagai guru kita pun memiliki kekuatan untuk mendidik dan mengajar.

Selamat Hari Guru Nasional, buat sahabatku para guru yang mendedikasikan diri untuk kemajuan pendidikan di negeri kita.

(Thurneysen Simanjuntak, Guru dan Pegiat Literasi)

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Latest Comments