From Nothing to be Something

Pada era tahun 70-80an Rinto Harahap mengeluarkan lagu yang terkenal, yang berjudul: “Lain Dulu Lain Sekarang”. Lagu ini menceritakan bagaimana perasaan penyanyi yang dulunya mengharapkan kekasihnya untuk hidup berdua selamanya, namun semua itu sirna saat sang kekasih telah dimiliki oleh pria lain, sehingga yang tersisa hanyalah luka. Dari lirik lagu ini dapat dilihat bahwa terjadi perubahan mendasar terhadap pria tersebut. Kenyataan hidup membuatnya berubah, baik perasaan maupun arah dan tujuan hidupnya.

Sebenarnya hal tersebut tidak hanya dialami di dunia percintaan, dalam kehidupan kerohanian pun dibutuhkan perubahan total, terkhusus ketika seseorang telah menyatakan bahwa ia percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat. Uniknya, setelah seseorang percaya, kehidupannya tidak cukup sampai di situ, namun ia juga harus menggali, menemukan dan menghidupi panggilan.

Apa Itu Panggilan? Apakah Semua Orang Percaya Memiliki Panggilan yang Sama?

Berbicara mengenai panggilan mungkin agak sedikit aneh bagi mereka yang belum percaya. Bagi mereka, hidup dapat dijalani sesuai dengan kemauan, cita-cita dan ambisi mereka semata tanpa melibatkan Tuhan dan bukan untuk Tuhan. “Aku belajar, aku bekerja keras dan akulah yang menikmati.” Hal itu pasti muncul dalam pikiran mereka. Hal tersebut sangat berbeda dengan orang-orang percaya apalagi untuk mereka yang sudah dibina sejak siswa, mahasiswa bahkan alumni.

Alkitab dari sejak Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru menuliskan ribuan nama-nama, dengan latar belakang, status, umur, gender, profesi dan ras yang berbeda-beda. Masing-masing memiliki tujuan yang berbeda-beda saat dimunculkan dalam teks alkitab. Uniknya, meskipun mereka berbeda-beda namun memiliki satu tujuan. Ingat, satu tujuan, yaitu menggenapi rencana Allah sehingga nama-Nya dipermuliakan oleh segala bangsa. Dari hal ini dapat dipahami bahwa setiap umat Tuhan diberikan mandat atau tujuan khusus dalam hidupnya untuk menggenapi rencana Allah, dimana masing-masing menemukan, memiliki dan menjalaninya secara unik. Hal inilah yang dapat disebut sebagai panggilan.

Lantas Bagaimana Menemukan Panggilan?

Salah satu tokoh alkitab yang akan penulis bahas dalam artikel ini adalah Paulus atau Saulus (nama lamanya). Saulus adalah tokoh legendaris yang hampir gagal menemukan panggilannya. Menurutnya, panggilan hidupnya sudah benar, kudus dan mulia, yaitu menganiaya dan menghabisi orang-orang percaya. Siapakah Saulus? Ia adalah orang yang hebat dan paling berbakti bagi Tuhan (Filipi 3:4b-7). Paulus dengan jelas mendaftarkan segala keistimewaannya sebagai manusia. Ada tujuh hal yang ia daftarkan yaitu: Pertama, disunat pada hari kedelapan. Mengapa Paulus menonjolkan hal ini? Artinya, orangtuanya merupakan orang Israel yang taat, yang patuh pada hukum Taurat, sebab sunat merupakan perintah Tuhan kepada Abraham dan kepada segala keturunannya, dimana setiap anak laki-laki disunat di usia delapan hari. Dengan demikian, sejak bayi Paulus sudah masuk dalam perjanjian Allah melalui sunat. Sejak bayi, ia sudah dibuat taat akan perintah Tuhan. Kedua, dari bangsa Israel. Kata “Israel” pertama kali muncul saat Yakub bergulat dengan Allah dan manusia dan ia menang (Kej. 32:28). Pada bagian selanjutnya, Allah menamai Yakub kembali sebagai “Israel” dalam peristiwa di Betel setelah membuat Mezbah bagi Allah. Tidak hanya dinamai tetapi juga Allah menyatakan janji untuknya, dimana keturunannya akan bertambah banyak, satu bangsa bahkan sekumpulan bangsa dan padanya akan berkumpul raja-raja serta negeri yang diberikan Abraham akan diberikan kepadanya dan keturunannya (Kej. 35: 10-12). Bukankah ini hal yang hebat dan patut dibanggakan? Allah sendiri yang menamai dan menjanjikan berkat-berkat. Satu-satunya bangsa di bawah kolong langit yang digambarkan secara istimewa. Ketiga, dari Suku Benyamin. Mengapa Paulus membanggakan hal ini? Alkitab mencatat bahwa di antara 12 suku Israel yang pecah, satu-satunya suku yang setia kepada Yehuda, kerajaan Daud adalah Benyamin. Jika dikilas balik lagi di zaman kerajaan, ketika mereka merubah teokrasi menjadi kerajaan yang dipimpin oleh manusia maka raja pertama yang Tuhan pilih adalah Saul, orang Benyamin itu. Jadi makin jelas, kebanggan Paulus. Keempat, orang Ibrani asli. Ini juga kebanggan bagi Paulus. Artinya nenek moyangnya taat pada perintah Tuhan untuk tidak melakukan perkawinan campur dengan orang-orang Kafir yang tidak mengenal Allah. Artinya, Paulus orang Ibrani tulen, bangsa pilihan  itu. Kelima, tentang pendirian terhadap hukum Taurat aku orang Farisi. Artinya, ia ketat terhadap hukum Taurat. Orang Farisi adalah orang yang menjelaskan semua hukum Allah, pengamat dan penegak hukum Taurat yang sangat teliti bahkan sampai ke hal-hal yang sangat kecil. Bagi mereka, Allah mengasihi orang yang taat hukum dan menghukum mereka yang tidak taat. Oleh karenanya, sampai detail yang terkecil dari hukum akan mereka perhatikan. Keenam, tentang kegiatan aku penganiaya  jemaat. Paulus sangat membenci orang Yahudi yang menyembah Tuhan di luar YHWH. Baginya, orang yang demikian harus dimusnahkan. Sebenarnya, ini sesuai dengan hukum di dua loh batu yang diterima Musa (Hukum I). Ketujuh, tentang kebenaran dalam mentaati Hukum Taurat aku tidak bercacat. Kata “tidak bercacat” yang dipakai adalah amemptos (ἂμεμπτος). Artinya, tidak pernah gagal ataupun lalai. Paulus ingin menunjukkan kesetiaannya. Ia pelaku dan tunduk penuh pada Hukum Taurat.

Perlu diperhatikan juga bahwa Saulus adalah murid berprestasi dari Gamaliel, seorang rabban (rabban, sebuah gelar yang lebih tinggi daripada rabbi) di kala itu, yang sangat dikagumi. Sejak masa mudanya, ia sudah dididik dan dilatih oleh Gamaliel. Inilah panggilan hidup Saulus, semata-mata untuk memuliakan Allah-nya yang ia kenal sejak kecil.

Apakah ini salah? Perlu dicatat, ia melakukan semuanya itu sesuai dengan panggilan hidupnya berdasarkan pemahaman Yudaismenya di saat itu. Penulis kira, gurunya, orantuanya bahkan teman-temannya pasti sangat menyukai dan mengaguminya.

Saulus, Saulus, Mengapa Engkau Menganiaya Aku?

Pertanyaan ini muncul saat Saulus sedang berapi-api dengan kegagahannya, dengan kudanya dengan surat kuasa yang legal yang ia minta dari Imam Besar untuk menganiaya dan memusnahkan jemaat Tuhan di Damsyik (Kis. 9:1-2). Saat itu Paulus sangat benci dengan orang-orang Israel yang menyembah Yesus karena baginya itu adalah kekejian sesuai dengan pengakuan iman (shema) mereka, “Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa (Ul. 6:4; shema Yisrael Yahweh elohenu Yahweh ekhad).” Allah Esa, hanya YHWH, tidak ada yang lain yang dapat disembah. Adapun kata yang digunakan untuk kata “menganiaya” adalah elumaineto (ἐλυμαίνετο). Kata ini memiliki arti melumatkan, seperti singa yang menerkam habis dan melumatkan makanannya. Bukankah dari hal ini dapat dilihat bahwa Saulus sangat membenci, haus dan sungguh-sungguh ingin memusnahkan mereka, karena kecintaannya kepada Allah yang sangat dalam?

Apakah benar ini panggilan Allah yang Paulus sembah selama ini? Jawabannya tidak! Allah yang ia pelajari, imani dan cintai sejak ia kecil bahkan bayi dimana ia sudah diikat dalam perjanjian dengan-Nya mengatakan, “Saulus, Saulus, Mengapa Engkau Menganiaya Aku? (Kis. 9:4b).” Kata-kata ini dan kebutaan yang dialaminya membalikkan semua keadaannya dan membuat ia percaya kepada Tuhan Yesus serta mengubah panggilan hidupnya. Ia pun memahami bahwa selama ini semua yang ia miliki dan tujuan hidupnya itu hanyalah sampah (Fil. 3:8). Ia dipilih Allah untuk menjadi rasul bagi non-Yahudi (Kis. 9:15; Gal. 2:9) meskipun tidak secara langsung menerima pengajaran dari Tuhan Yesus.

Dari kisah hidup Paulus, dapat dilihat bahwa menemukan panggilan itu sangat unik. Paulus harus buta dulu dan betul-berul jatuh sampai ke titik nol. Tidak hanya itu, segala pengakuan iman dan hukum-hukum yang ia pelajari habis diobrak-abrik oleh penglihatan di siang itu. Seorang monoteisme Yahudi berubah menjadi mengenal Allah Tritunggal dan menjadi rasul bagi Non Yahudi. Proses menemukan panggilan hidupnya sangat panjang. Paulus, secara tidak langsung Allah persiapkan di bawah didikan guru yang diakui di zaman itu, belajar semua kebudayaan Helenistik dan Romawi yang akhirnya dipakai Tuhan untuk rencana-Nya menjadi rasul non-Yahudi.

Tentu hal tersebut juga berlaku bagi semua orang percaya, menemukan panggilan hidup tidaklah instan. Masing-masing akan menemukannya secara unik, dalam proses yang panjang bahkan terkadang di awal salah memilih panggilan seperti Saulus. Namun, tidak perlu frustasi, saat Tuhan memanggil dan kerinduan hati adalah sungguh-sungguh ingin memuliakan-Nya, pasti Allah akan berkenan untuk menyatakan panggilan itu. Dengan demikian, tidak ada teori dalam menemukan panggilan. Allah menyatakan beberapa prinsip untuk menemukannya di alkitab dan semua itu adalah pengalaman rohani secara pribadi dengan Tuhan.

Panggilan biasanya tidak jauh dari latar belakang dan gifts yang Tuhan berikan bagi setiap orang percaya. Paulus dipilih menjadi rasul bagi non-Yahudi karena memang ia memiliki kemampuan akan hal itu. Ia tahu, belajar dan paham betul bahasa, dan kebudayaan Yunani, dan Romawi bahkan ia memiliki kewarganegaraan Romawi. Sementara Petrus, Yakobus dan Yohanes tidak memiliki kemampuan seperti Paulus. Setiap orang percaya sejak dini harus mengetahui dan menyadari segala kemampuan dan gifts yang Tuhan anugerahkan padanya. Dengan demikian memudahkannya untuk menemukan panggilan.

Bagaimana Menghidupi Panggilan?

Rasul Paulus mengatakan, “Yang kukehendaki ialah mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana aku menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Fil. 3:10). Fokus hidup Paulus adalah Kristus, penderitaan, kematian dan kebangkitan-Nya. Saya yakin, Paulus berhasil menunaikan tugas panggilannya karena hal ini. Tidak heran dalam menjalani panggilan yang berat, sukar dan senang, ia tidak pernah ingkar.

Suratnya kepada jemaat Korintus dikatakan bahwa ia disesah oleh orang Yahudi sebanyak 5 kali dimana dipukul 40 kurang satu pukulan (aturan taurat), 3 kali didera, 1 kali dilempari dengan batu, 3 kali mengalami karam kapal, sehari semalam terkatung-katung di tengah laut, dalam perjalanan sering terancam akan bencana banjir dan bahaya penyamun, bahaya dari pihak Yahudi dan Non-Yahudi, bahaya di kota, padan gurun, di tengah laut, dan bahaya dari saudara-saudara palsu. Ia banyak berjerih lelah dan bekerja berat, kerap tidak tidur, lapar dan dahaga, kerap kali berpuasa, kedinginan dan tanpa pakaian (2 Kor. 11:24-27). Dari hal ini dapat dipahami bahwa menjalani panggilan hidup tidaklah gampang, banyak rintangan, hambatan, kesusahan, kelaparan, dinilai salah, ditipu bahkan hampir di ambang maut. Akan tetapi ketika Kristus yang menjadi poros, komitmen untuk setia menjalani panggilan akan terus Tuhan mampukan.

Akibat kerja keras dan kesetiaan Paulus terhadap panggilan Tuhan dan dibarengi dengan perkenanan Tuhan kepadanya, ia dipakai Tuhan secara luar biasa. Ia tidak hanya menjadi misionaris yang telah merintis jemaat-jemaat non-Yahudi, ia juga menggenapi perintah Tuhan Yesus di kala itu, bahwa Injil harus sampai ke ujung-ujung bumi (Kis. 1:8). Kala itu ujung bumi adalah Roma, dalam pemenjaraannya di Roma, ia memberitakan injil. Injil sampai ke ruang lingkup kerajaan. Tidak hanya itu, dari ke-27 kitab Perjanjian Baru, 13 darinya adalah dari tangan Rasul Paulus yang sampai sekarang kita baca, hafal, imani bahkan diteliti oleh para teolog-teolog di bawah kolong langit. Bukankah ini sangat luar biasa?

Setiap orang percaya, mari gali panggilan kita, hidupi dengan penuh kesetiaan dan terus berpusat pada Kristus. Jangan letakkan dasar panggilan karena dunia, materi dan manusia. Semua itu akan membuat kita kecewa. Tanpa Kristus dan panggilan-Nya kita bukan apa-apa (nothing), namun ketika Kristus hidup dan menjadi pusat hidup kita dan menggerakkan kita menghidupi panggilannya, saat itulah kita dapat disebut orang percaya (to be something). Kristus yang memanggil, Kristus yang memberikan panggilan, Kristus yang memampukan dan pasti Kristus juga yang akan menguatkan. Dengan demikian, jadikan Kristus sebagai pusat kita menjalani panggilan, apapun panggilan kita. Ia berjanji, Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman (20b).

Oleh: Pdt. Marito Silalahi, S,Th.

CATEGORIES:

Uncategorized

Tags:

No responses yet

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Latest Comments